Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Memberikan Perlindungan Saksi Dan Korban

LPSK dewasa ini sekira memberikan sedikit solusi tentang  perlindungan saksi dan korban di Indoneisa. UU PSK menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri. Apa yang dimaksud mandiri dalam UU ini, lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang independen (biasanya disebut sebagai komisi independen), yakni organ negara (state organs) yang di idealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik Eksekutif, Legislatif maupun Judikatif, namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang kekuasaan tersebut. Dalam berbagai kepustakaan, yang dimaksud dengan independen adalah: (1) berkaitan erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden karena merupakan bagian dari eksekutif (2) bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan atau bila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decesion) pemberhentian pimpinan komisi. (3) Sifat independen juga tercermindari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan (4) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu dan (5) masa jabatan pemimpin komisi tidak habis secara berrsamaan, tetapi bergantian (starggerd terms).

Pemberian perlindungan bagi saksi dan korban dari suatu tindak pidana adalah bagian dari proses penegakan hukum. Hal ini dikarenakan posisi saksi dan korban adalah kunci untuk mewujudkan peradilan yang adil. Beberapa kelemahan dalam undang-undang perlindungan saksi karena undang-undang tersebut hanya mencakup perlindungan bagi korban dan saksi dalam hal perkara pidana biasa saja. Untuk perkara perdata, perkara pada pengadilan militer, Tata Usaha Negara, perlindungan tidak dapat diberlakukan terhadap saksi maupun korban yang terkait dengan perkara tersebut. Selain hal diatas juga LPSK memiliki peranan kami menegaskan bahwa peran LPSK sangat penting untuk membantu mempermudah pemulihan hak korban, sesuai dengan ketentuan undang – undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, lembaga ini memiliki fungsi dan peran memberikan bantuan kepada korban pelanggaran HAM berat. LPSK dapat memberikan bantuan medis dan psiko – sosial (Pasal 6) dan selanjutnya korban melalui LPSK dapat mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi ke pengadilan (Pasal 7 ayat 1, 2 dan 3). Selain itu, LPSK juga dilengkapi oleh sebuah peraturan pemerintah nomor 44 tahun 2008 tentang pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan kepada saksi dan korban. Di harapkan LPSK mampu melakukan terobosan yang positif untuk mengatasi kebuntuan hukum pemulihan hak korban sehingga pilihan ini dapat menutup kelemahan aturan hukum yang ada. Perlindungan saksi bukan berarti tidak bertanggung jawab jika memberikan kesaksian palsu yang dapat mencemarkan kehormatan dan nama baik seseorang yang sebagaimana diatur dalam Pasal 317 KUHP tentang pengaduan fitnah dan sebagainya atau Pasal 242 tentang keterangan palsu. Perlindungan korban dan saksi adalah perlindungan terhadap hak-hak korban dan saksi. KUHAP mengatur tentang hak-hak terdakwa di atas hak-hak saksi dan korban, Pasal 184 KUHAP  :

1. Keterangan Saksi

2. Keterangan Ahli

3. Surat

4. Petujuk dan

5. Keterangan Terdakwa.

Ditempatkannya terdakwa pada posisi terakhir untuk membela diri membuat korban dan saksi merasa terpinggirkan. Perlindungan saksi bersifat parsial  maka korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat. ”setiap korban dan saksi dalam pelanggaran berhak mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum dan keamanan dalam bentuk perlindungan atas menurut PP NO.2/2002 keamanan pribadi korban dan saksi dari ancaman fisik dan mental, perlindungan terhadap identitas korban dan saksi serta pemberian keterangan saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa tatap muka dengan terdakwa.

BENTUK-BENTUK KERJASAMA LPSK :

(1) Untuk memenuhi potensi dan kemampuan kapasitas kelembagaan LPSK dalam proses maupun jalinan kerjasama, agar bentuk kerjasama LPSK dengan berbagai pihak ditentukan dengan memperhatikan hak dan kewajiban, norma aturan yang berlaku, serta manfaat kerjasama kelembagaan (out sourching);

(2) Dalam upaya penataan dan penyertaan kapasitas kelembagaan LPSK, agar bentuk kerjasama ditentukan dengan memperhatikan norma, keberadaan, maupun aktivitas LPSK dalam perlindungan Saksi dan Korban, serta manfaat dan kepentingan para pihak yang bersangkutan (in sourching);

(3) Dalam mewujudkan kebersamaan dalam menentukan langkah sasaran, dan atau aktivitas strategi untuk melaksanakan upaya perlindungan kepada Saksi dan Korban dalam kasus-kasus tertentu, bentuk kerjasama diformat dalam wujud aliansi komunikasi;

(4) Dalam mewujudkan kerjasama untuk membentuk kapasitas kelembagaan kerja serta pemberlakuan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan program dan kegiatan strategi perlindungan dan atau bantuan kepada para Saksi dan Korban diformat dan dilakukan dengan wujud membentuk aliansi strategi yang berisikan hak dan kewajiban para pihak serta kewajiban yang harus dipenuhi LPSK.

Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13 Tahun 2006, yaitu:

1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29).

2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29).

3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1).

4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32).

5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus

pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi

tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7).

6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33

dan 34).

7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada

Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).

8. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan

bantuan.(Pasal 39)

Cat : Dari berbagai sumber

By Syarif Hidayat Adipura (Mahasiswa S1 Fakultas Hukum UNPAD BANDUNG)

Tinggalkan komentar