Akad-Akad Dalam Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Terkait Layanan Gadai Emas
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan pendapatan perkapita dan kesejahteraan yang dilakukan secara terus-menerus dalam suatu jangka waktu tertentu. Pembangunan ekonomi merupakan titik berat pembangunan jangka panjang dan sebagai alat untuk mencapai keseimbangan antara bidang pertanian dan bidang industri, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, yang berarti bahwa sebagian dari usaha pembangunan diarahkan pada pembangunan di bidang perekonomian, sedangkan pembangunan di bidang lainnya bersifat menunjang dan melengkapi. Strategi pembangunan seperti ini hanya dapat dilakukan dengan pijakan yang kuat, dimulai dengan memaksimalkan bidang-bidang ekonomi yang dijalankan baik di bidang keuangan perbankan, ekspor-impor, koperasi pembinaan usaha kecil maupun di bidang perdagangan umum dan industri. Semua potensi ekonomi tersebut perwujudannya dilakukan melalui pendanaan yang kuat, adapun sumbernya didapatkan dari dalam negeri dan luar negeri.
Dana yang diperoleh dari sumber tersebut harus dikelola secara profesional agar distribusinya dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang memerlukan. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, salah satu sektor penting yang berperan dalam pengelolaan dana dan turut mendorong perekonomian adalah sektor perbankan. Sektor ini merupakan salah satu potensi ekonomi yang sangat penting dalam gerak dan langkah pelaksanaan pembangunan ekonomi, bahkan kemajuan di sektor perbankan dianggap sebagai kemajuan perekonomian suatu bangsa. Sementara itu, keterpurukan ekonomi yang melanda negara kita diawali dengan gejolak moneter di negara-negara tetangga, sehingga nilai tukar rupiah pun terdepresiasi cukup besar. Ketika krisis moneter melanda Indonesia (1997-1999) tingginya angka persentase kredit macet di satu sisi (aktiva), dan bunga deposito di sisi lain (pasiva) telah menimbulkan negative spread, dan satu-persatu bank-bank di Indonesia banyak yang mengalami likuidasi. Dalam kondisi seperti yang disebut di atas, di mana bank-bank banyak yang dilikuidasi, terdapat hal menarik yaitu salah satu bank yang dapat bertahan dalam kondisi menghadapi kebijakan uang ketat yaitu Bank Muamalat, ketika itu masih satu-satunya bank umum yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah Islam. Bank syariah dalam pengoperasiannya menggunakan sistem bagi hasil, maka bank ini tidak terpengaruh oleh bunga yang tinggi.
Konsep Dasar Transaksi Muamalah pada Bank Syariah Kegiatan Muamalah adalah kegiatan-kegiatan yang menyangkut hubungan antar manusia yang meliputi aspek politik, ekonomi, dan sosial. Kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi meliputi kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup, seperti : jual beli, simpan-pinjam, hutang-piutang, usaha bersama, dan lain-lain. Dalam manajemen bank syari’ah tidak banyak berbeda dengan manajemen bank pada umumnya (Bank konvensional). Namun dengan adanya landasan Syari’ah serta sesuai dengan peraturan pemerintah yang menyangkut Bank Syari’ah antara lain UU. No 10 Tahun 1998 sebagai revisi UU. No 7 Tahun 1992, tentu saja baik organisasi maupun sistem operasional Bank Syari’ah terdapat perbedaan dengan Bank konvensional, terutama adanya Badan Pengawas Syari’ah (BPS) dalam struktur organisasi dan adanya sistem bagi hasil. Oleh karena itu dengan adanya Dewan Syari’ah dan sistem bagi hasil dalam Bank Syari’ah tersebut maka sebelum sampai detail operasional, perlu diketahui sistem Muamalah dalam Islam. Islam sebagai agama, memuat ajaran yang bersifat universal dan komprehensif. Universal artinya bersifat umum, dan komprehensif artinya mencakup seluruh bidang kehidupan. Dan muamalah dalam islam mencakup persoalan mulai dari hak atau hukum sampai kepada urusan lembaga keuangan, lembaga-lembaga keuangan diadakan dalam rangka untuk mewadahi aktifitas konsumsi, simpanan dan investasi. Akad-akad Pada Bank Syari’ah Akad secara umum, menurut pendapat ulama syafi’iyah, malikiyah, dan babaniyah adalah segala sesuatu yan dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri seperti wakuf, pembebebasan, atau sesuatu yang pembentuknya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, sewa menyewa, perwakafan dan gadai dan secara khusus adalah perikatan Ijab dan Qabul berdasarkan potensial syara’ yang berdampak pada objeknya. Dalam Bank Syari’ah ada akad, aspek legal, struktur organisasi, usaha yang di biayai, dan lingkungan kerja.
Akad dan Aspek Legalitas dalam Bank Syari’ah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggung jawaban hingga yaumil qiyamah nanti. Setiap akad dalam Perbankan Syari’ah, baik dalam hal barang, pelaku transakasi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1) Rukun (penjual, pembeli, barang, harga, dan akad/ijab-qabul)
2) Syarat-syaratnya adalah :
a. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum Syari’ah.
b. Harga barang dan jasa harus jelas.
c. Tempat penyerahan harus jelas.
d. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan. Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan ( financial intermediary function ). Hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu Bank Konvensional maupun Bank Syariah. Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih dikategorikan sebagai riba yang demikian merupakan sesuatu yang dilarang oleh syariah ( haram ). Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah Bank Syariah.
Perbedaan signifikan pembiayaan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah menurut M. Syafii Antonio adalah sebagai berikut :
Bank Syariah
|
Bank Konvesional
|
Melakukan investasi yang halal saja
|
Investasi yang halal dan haram |
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa |
Memakai perangkat bunga |
Profit dan falah oriented
|
Profit oriented |
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan |
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur |
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatma DewanPengawas Syariah |
Tidak terdapat dewan sejenis |
Dalam operasionalnya, Bank Syariah memberi jasa-jasa dalam bentuk yang terbagi menjadi
1. Musyarakkah
Adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.
2. Murabahah
Adalah Akad jual beli atas barang tertentu dengan memperoleh keuntungan.
3. Mudharabah
Adalah bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh berdasarkan prinsip bagi hasil dan,
4. Ijarah ( sewa – menyewa )
Pengertian Ijarah (sewa-menyewa) yang terdapat dalam perbankan syariah berbeda dengan pengertian sewa-menyewa dalam praktek umum sehari – hari. Sewa – menyewa dalam praktek sehari-hari mempunyai tiga unsur essensial yaitu :
a. Harga sewa
b. Jangka waktu / masa sewa
c. Obyek sewa
Dalam transaksi sewa – menyewa ini tidak ada peralihan hak milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa yang disebut Ijarah . Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada transaksi sewa – menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga tidak diperlukan pembiayaan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan pembiayaan.
Secara umum Perbankan Islam mempunyai tujuan untuk mengembangkan dan peningkatan serta memelihara aplikasi prinsi-prinsip hukum Islam pada transaksi-transaksi keuangan, perbankan dan masalah-masalah yang terkait dengan bisnis. Diantara tujuan-tujuannya adalah :
a. Pelarangan praktek riba’
b. Menyediakan para pelanggannya dengan faslilitas-fasilitas dan jasa perbankan Islam dengan kualitas sebaik-baik mungkin
c. Mencapai kemajuan tingkat keuntungan yang cukup demi perkembangan perbankan itu sendiri
d. Mengembangkan dan memilahara suatu manajement yang competen serta inovatif yang terkait dengan standar integrasi dan profesionalisme perbankan Islam
e. Mengembangkan suatu kemampuan yang bermotifasi pada penghematan dengan etika yang jujur kepada mitra usaha
f. Menghimpun, mengatur administrasi dan mendistribusikan zakat dan infaq dan shadaqah
Dalam UU Perbankan Syariah semua pelaksanaan kegiatan operasional dari perbankan syariah harus berasaskan pada Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Dalam Pasal 1 Angka 12 UU Perbankan Syariah, prinsip syariah didefinisikan sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 UU Perbankan Syariah disebutkan bahwa kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur :
a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Ketentuan mengenai prinsip-prinsip syariah dalam perbankan syariah juga diatur juga dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank, yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/16/PBI/2008, selanjutnya disebut PBI Pelaksanaan Prinsip Syariah. Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam setiap kegiatan usaha perbankan syariah ini merupakan kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 ayat (1) huruf a UU Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa Bank Umum Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah. Bahkan dalam UU Perbankan Syariah diatur pengenaan sanksi atas pelanggaran dalam pelaksanaan prinsip syariah di kegiatan usaha perbankan syariah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan Syariah, merupakan payung yuridis dalam memberikan jaminan bagi kepastian usaha dan jaminan perlindungan hukum yang sangat diperlukan bagi kegiatan usaha perbankan syariah.
Undang-Undang Perbankan syariah memberi keleluasaan ruang dan gerak bagi bank syariah untuk mengembangkan dan menciptakan inovasi dalam produk dan layanan jasa perbankan syariah, serta memberi rambu-rambu yang jelas dan tegas pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk mengatur pula sanksi pidana dan sanksi administratif kepada perbankan syariah ketika melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Demikian juga sebagai pelaku usaha, kegiatan usaha perbankan syariah terikat dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas, selanjutnya disebut Undang-Undang Perseroan terbatas, sebagai syarat didirikannya Bank Syariah dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai perlindungan kepada konsumen yang menggunakan jasa dari pelaku usaha. Adanya ketentuan perundang-undangan ini secara langsung berakibat pada kegiatan operasional perbankan syariah, dimana tidak boleh terjadi suatu penyimpangan akibat adanya perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigheid) dan/atau suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam kegiatan operasionalnya. Pada hakekatnya hubungan hukum yang lahir karena perjanjian di dalam kegiatan usaha perbankan syariah masuk dalam ranah hukum perdata.
Hubungan hukum tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, pelaku usaha perbankan syariah pasti melakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini yang sering tidak disadari oleh pihak perbankan syariah, ketika menyiapkan sumber daya manusia selaku pelaku usaha di perbankan syariah. Keterbatasan sumber daya manusia masih merupakan permasalahan utama, padahal sumber daya manusia merupakan pelaku dalam kegiatan usaha perbankan syariah. Sebagai suatu kegiatan usaha yang berbadan hukum, peran pelaku akan menentukan apakah badan hukum ini berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada atau menyimpang dari ketentuan tersebut. Salah satu kegiatan usaha syariah yang cukup berkembang pesat di masyarakat adalah layanan gadai emas syariah. Dalam perkembangannya, gadai emas syariah ini ternyata dimanfaatkan juga oleh masyarakat sebagai sarana investasi, dengan memanfaatkan kenaikan nilai harga emas dan kemudahan serta keringanan dalam gadai emas syariah. Perjanjian yang digunakan dalam layanan gadai emas syariah umum ternyata masih mengandung klausul-klausul yang menyebabkan perjanjian tidak sah dan batal demi hukum. Disinilah timbul perbuatan melawan hukum yang secara tidak sadar telah dilakukan oleh pelaku usaha perbankan syariah sendiri.
B. Kasus Posisi
Pada kesempatan ini kelompok kami akan membahas tentang layanan gadai emas yang dilakukan oleh Bank BRI Syariah. Dalam kasus ini terdapat akad-akad dalam kegiatan usaha perbankan yang dilanggar atau terdapat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bank tersebut. Kasusnya sebagai berikut : Pada Agustus 2011, Butet mengambil produk gadai emas BRI Syariah di Yogyakarta. Meski kontraknya adalah gadai emas, praktiknya tidak demikian. Dalam transaksi itu, Butet tidak menyerahkan atau menggadaikan emas untuk dapat uang. Skemanya justru lebih mirip kepemilikan logam mulia (KLM) atau membeli emas secara mencicil. Butet membeli emas di BRI Syariah sebanyak 4,83 kilogram dan 600 gram. Harga saat itu Rp 500.000 – Rp 505.000 per gram. Ia menyetor dana sebesar 10% dari total harga emas. Sisanya diangsur tiga tahun dan wajib dibayarkan tiap empat bulan. Pembayarannya autodebet. Butet juga harus membayar biaya titip (ujroh) lantaran emasnya disimpan di brankas BRI Syariah hingga kontrak berakhir. BRI Syariah akhirnya menjual emas milik Butet secara sepihak pada 18 Agustus lalu. Harganya Rp 489.000 per gram atau sekitar Rp 2,5 miliar. “Menurut perhitungan BRI Syariah, Butet mesti membayar lagi Rp 40,9 juta untuk menutup selisih penurunan harga emas,”
C. Analisa dan Pembahasan
Rahn atau gadai tidak didefinisikan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, namun demikian Undang-Undang Perbankan Syariah memberikan ruang gerak yang luas bagi kegiatan usaha Bank Umum Syariah selama tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 huruf q UU Perbankan Syariah. Landasan hukum bagi perbankan syariah untuk mengeluarkan produk layanan atau kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah adalah menggunakan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut Fatwa DSN MUI). Muhammad Syafi’i Antonio menyatakan bahwa untuk keperluan pengawasan terhadap lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah, DSN MUI membuat suatu garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Panduan tersebut akan menjadi dasar hukum dalam pengawasan serta dasar hukum bagi pengembangan produk-produk lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah. Oleh karena itu definisi rahn dapat dilihat pada Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang RAHN, yang mendefinisikan rahn sebagai pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang. Dasar hukum gadai emas adalah berdasarkan Fatwa DSN MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang RAHN EMAS, yang menyatakan bahwa rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn.
Gadai dalam hukum Islam (disebut juga gadai syariah) dikenal sebagai rahn. Rahn artinya tetap, kekal dan jaminan. Menurut Abd. Shomad, rahn berarti perjanjian penyerahan harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang nantinya dapat dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Barang-barang yang dijadikan sebagai rahn adalah barang yang berharga atau mempunyai nilai ekonomis serta dapat disimpan/bertahan lama. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya dimana barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai. Keabsahan gadai/rahn dilihat dari rukun dan syaratnya, menurut Ahmad Ifham Sholihin, rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli, jual beli tidak akan ada. Lebih lanjut Abd. Shomad menguraikan unsur-unsur yang harus ada dalam rahn, atau yang disebut sebagai rukun rahn, yaitu:
a. Adanya Rahin, yaitu pemilik harta;
b. Adanya Murtahin, yaitu penerima jaminan sekaligus pemberi hutang;
c. Adanya Marhun, yaitu barang bernilai ekonomi yang dijadikan jaminan;
d. Adanya Shigat, yaitu ijab kabul atau perikatan antara Rahin dan Murtahin.
Kemudian syarat rahn adalah :
a. Barang itu sah milik rahin dan berkuasa atas barang tersebut;
b. Marhun tersebut harus jelas ukuran, sifat, jumlah, dan nilainya;
c. Nilai Marhun ditentukan berdasarkan nilai riil pasar (fair value / market value);
d. Marhun bisa dikuasai langsung secara hukum positif;
e. Pemilik boleh menggunakan / memanfaatkan marhun namun penggunaannya tidak mengurangi nilainya;
f. Apabila marhun mengalami kerusakan atau cacat ketika digunakan, maka rahin wajib memperbaiki atau menggantinya.
Praktek gadai emas di perbankan syariah umumnya menggunakan prosedur yang sama. Hal ini berdasarkan rangkuman penulis setelah meneliti melalui website layanan gadai emas dari Bank BRI Syariah, Bank Mega Syariah, Bank Mandiri Syariah serta Bank BNI Syariah. Agar memudahkan dalam pembahasan praktek perjanjian gadai emas syariah, maka paper ini khusus membahas praktek gadai emas di Bank BRI syariah sebagai sumber analisa. Pemilihan ini berdasarkan pada perhitungan pembiayaan gadai emas di Bank BRI Syariah merupakan yang tertinggi di antara bank syariah lainnya sehingga Layanan Gadai Emas BRI Syariah termasuk yang paling diminati dalam praktek gadai emas syariah.
Bentuk-bentuk praktek gadai emas dalam perbankan syariah terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Praktek Gadai Emas Syariah Yang Umum
2. Praktek Gadai Investasi Kebun Emas
3. Praktek Beli Gadai Emas
Ad. 1. Praktek Gadai Emas Syariah Yang Umum
Yang dimaksud dengan praktek gadai emas syariah yang umum, adalah praktek gadai emas yang memang standar dilakukan oleh semua bank syariah. Adapun persyaratan dan ketentuan pelayanan gadai emas syariah yang umum di Bank BRI Syariah berdasarkan informasi dari website, brosur gadai emas BRI Syariah dan konfirmasi penulis sendiri ke BRI Syariah adalah sebagai berikut :
1. Nasabah memiliki emas minimal 2 (dua) gram dengan kualitas minimal 16 Karat dalam bentuk perhiasan atau goldbar (emas batangan 24 karat)
2. Nasabah memiliki kartu identitas yang masih berlaku, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Ijin Mengemudi (SIM).
3. Jangka waktu pinjaman maksimal 120 (seratus dua puluh) hari atau 4 (empat) bulan, pinjaman dapat dilunasi sebelum jatuh tempo dan juga dapat diperpanjang dengan akad dan sewa tempat baru.
4. Nasabah membuat akad dengan perbankan syariah dalam bentuk pinjaman dana (Qardh) dengan menggadaikan emasnya dan akad sewa-menyewa (Ijarah) untuk tempat penyimpanan yang aman dan berasuransi.
5. Jika emas gadai nasabah hilang/rusak dalam penyimpanan perbankan syariah, maka perbankan syariah akan mengganti nilai barang berdasarkan penggantian dari perusahaan asuransi rekanan perbankan yang bersangkutan.
6. Biaya-biaya yang akan dikenakan, terdiri dari :
a. Biaya Administrasi dibayar di muka, dapat berubah sewaktu-waktu dan penetapannya berjenjang sesuai berat emas. Perincian biaya administrasi adalah sebagai berikut :
· Untuk berat emas dibawah 25 gram = Rp. 12.500,00
· Untuk berat emas antara 25 gram sampai 50 gram = Rp. 20.000,00
· Untuk berat emas antara 50 gram sampai 100 gram = Rp. 40.000,00
· Untuk berat emas antara 100 gram sampai 500 gram = Rp. 60.000,00
· Untuk berat emas antara 500 gram sampai 1000 gram = Rp. 90.000,00
· Untuk berat emas lebih dari 1000 gram = Rp. 125.000,00
b. Biaya sewa tempat dibayar saat pelunasan pinjaman. Biaya sewa ini ditetapkan kurang lebih setara dengan 1,25% per bulan dari nilai pinjaman yang dihitung per 10 hari.
c. Biaya terkait proses lelang (jika emas dilelang)
7. Perhitungan maksimal pembiayaan gadai emas berdasarkan jenis emas :
Jenis Perhiasan
= 90% dari Nilai Taksir BRIS
Jenis Lempengan/Goldbar
= 93% dari Nilai Taksir BRIS
Nilai Taksir BRIS adalah standard harga emas di Bank BRI Syariah yang berubah-ubah menurut nilai harga pasar emas (harga/gram emas)
Dengan ketentuan tersebut, nasabah cukup datang membawa emas yang dimilikinya, kemudian emas itu akan ditaksir harganya dengan Nilai Taksir BRIS, setelah itu nasabah ditawarkan nilai maksimum pembiayaan berdasarkan penaksiran tersebut. Jika nasabah menyetujui, maka barang gadai diserahkan kepada pejabat bank yang ditunjuk, lalu dilaksanakan penandatanganan sertifikat gadai syariah BRI Syariah, setelah itu nasabah menerima uang pinjaman secara tunai atau melalui rekening miliknya.
Perbuatan Melawan Hukum dalam Perjanjian Gadai Emas Syariah Umum
Berdasarkan perjanjian gadai emas di bank BRI Syariah tersebut, penulis berpendapat secara garis besar isinya telah memenuhi rukun dan syarat gadai emas sebagaimana yang telah diatur oleh Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang RAHN dan Fatwa DSN MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang RAHN EMAS. Namun dari hasil analisa penulis terdapat 5 (lima) klausul/ketentuan yang membuat perbankan syariah telah melakukan perbuatan melawan hukum akibat adanya perjanjian tersebut, kelima poin tersebut adalah :
1. Perhitungan biaya sewa tempat yang dihitung setara 1,25% dari nilai pinjaman per bulan.
Dalam Ketentuan Umum Angka 4 Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang RAHN disebutkan bahwa :
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Dengan demikian perhitungan biaya sewa tempat yang dilakukan oleh Bank Syariah dengan penyetaraan 1,25% dari nilai hutang pinjaman per bulan adalah bertentangan dengan Fatwa DSN MUI tentang RAHN. Dengan demikian klausul ini telah menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya, ini memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum.
2. Perhitungan biaya sewa tempat yang dihitung per 10 hari.
Perhitungan biaya sewa tempat yang dihitung per 10 hari disebutkan dalam akad ijarah nomor 8 Sertifikat Gadai Syariah Bank BRI syariah yaitu :
8. Apabila NASABAH melakukan pelunasan dipercepat, maka terhadap NASABAH akan tetap dikenakan Biaya Sewa berdasarkan Biaya Sewa yang dihitung per 10 (sepuluh) hari.
Perhitungan ini bertentangan dengan pelaksanaan prinsip syariah yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah juncto Pasal 2 ayat 2 PBI Pelaksanaan Prinsip Syariah, karena perhitungan tersebut mengandung “Riba” dan “Dzalim”. Perhitungan sewa tempat seharusnya per hari sehingga yang dihitung adalah sesuai waktu penyimpanan yang memang berhak ditagih oleh Bank Syariah, jika perhitungannya per 10 hari maka ketika nasabah (pemberi gadai) melakukan pelunasan dipercepat, akan membayar biaya sewa tambahan yang seharusnya tidak ada. Penambahan biaya sewa inilah yang disebut riba, dan akibat lainnya adalah menimbulkan ketidakadilan bagi nasabah (pemberi gadai) sehingga memenuhi kriteria dzalim. Dengan demikian klausul ini telah menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya, ini memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum.
3. Akad ijarah nomor 3, nomor 4, dan nomor 9 terkait dengan asuransi atas emas gadai yang dilakukan oleh bank syariah.
Akad ijarah nomor 3, nomor 4 dan nomor 9 dalam Sertifikat Gadai Syariah Bank BRI Syariah berbunyi sebagai berikut :
3. BANK dapat mengasuransikan Barang selama Jangka Waktu Sewa berlangsung pada perusahaan asuransi rekanan BANK atas risiko-risiko yang dianggap perlu oleh BANK.
4. Dalam hal selama Jangka Waktu Penyimpanan Barang terjadi hal-hal yang timbul dan diakibatkan dari risiko-risiko yang dijamin oleh perusahaan asuransi rekanan BANK sebagaimana dimaksud dalam butir 3 Akad ini yang mengakibatkan Barang menjadi rusak atau hilang, maka BANK akan memberikan ganti rugi dengan besaran ganti rugi mengacu pada ketentuan yang berlaku antara BANK dengan perusahaan asuransi rekanan BANK. Adapun khusus terkait kerusakan Barang yang diakibatkan oleh kebakaran, maka maksimum besaran ganti rugi yang diberikan oleh BANK adalah sebesar 90% (Sembilan puluh persen) dari Nilai Taksiran Barang sebagaimana tercantum dalam Sertifikat Gadai Syariah ini.
9. Dalam hal terjadi hal-hal di luar kekuasaan BANK (force Majeure) termasuk tetapi tidak terbatas pada Gempa Bumi, Angin Taufan, Perang, Pemberontakan, Tsunami, Bencana Alam, maka BANK dibebaskan dari kewajibannya sesuai dengan butir 4 Akad ini.
Akad ijarah nomor 3 merupakan klausul yang memberikan ijin kepada bank syariah untuk mengasuransikan emas gadai dengan perusahaan asuransi rekanannya dengan biaya dari nasabah (pemberi gadai). Tujuan adanya asuransi dalam perjanjian gadai emas syariah adalah untuk menanggung resiko-resiko kerusakan, kehilangan ataupun hal lainnya termasuk force majeur yang mungkin terjadi terhadap emas gadai selama emas gadai disimpan oleh bank syariah dalam jangka waktu gadai.
Akad ijarah nomor 4 menyebutkan bahwa BANK akan memberikan ganti rugi dengan besaran ganti rugi mengacu pada ketentuan yang berlaku antara BANK dengan perusahaan asuransi rekanan BANK. Adanya klausul ini dalam akad ijarah menunjukkan bahwa bank syariah tidak mau menanggung penuh resiko terhadap kerusakan emas gadai, baik karena kelalaiannya ataupun diluar kemampuannya, padahal untuk hal tersebut bank syariah telah memberikan pertanggungan kepada asuransi rekanannya, seharusnya nilai yang ditanggung asuransi adalah 100% nilai taksiran harga emas dalam perjanjian bukan malah sebesar 90% yang bertolak belakang dengan niat diadakannya asuransi terhadap emas gadai. Ini menimbulkan ketidakadilan bagi nasabah selaku pemberi gadai sehingga klausul ini memenuhi kriteria “Dzalim” sebagaimana yang dimaksud dalam prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu klausul maksimum ganti rugi yang diberikan oleh BANK adalah sebesar 90% dari Nilai Taksiran Barang dalam akad ijarah nomor 4 Sertifikat Gadai Syariah Bank BRI Syariah adalah bertentangan dengan Pasal 2 UU Perbankan Syariah juncto Pasal 2 ayat 2 PBI Pelaksanaan Prinsip Syariah dan menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya, ini memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum.
Demikian juga dengan akad ijarah nomor 9 yang menyebutkan dalam hal terjadi hal-hal di luar kekuasaan BANK (force Majeure), maka BANK dibebaskan dari kewajibannya sesuai dengan butir 4 Akad ini. Klausul ini juga bertolak belakang dengan niat diadakannya asuransi terhadap emas gadai. Ini jelas menimbulkan ketidakadilan bagi nasabah selaku pemberi gadai sehingga klausul ini memenuhi kriteria “Dzalim” sebagaimana yang dimaksud dalam prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu klausul pembebasan BANK dari kewajiban akad ijarah nomor 4 sebagai akibat force majeure dalam akad ijarah nomor 9 Sertifikat Gadai Syariah Bank BRI Syariah adalah bertentangan dengan Pasal 2 UU Perbankan Syariah juncto Pasal 2 ayat 2 PBI Pelaksanaan Prinsip Syariah dan menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya, ini memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum.
4. Akad ijarah nomor 6 terkait dengan emas gadai yang belum diambil setelah pelunasan hutang dan akad gadai nomor 7 tentang sisa hasil pelelangan emas gadai yang disalurkan sebagai sedekah oleh BANK.
Akad ijarah nomor 6 Sertifikat Gadai Syariah Bank BRI syariah menyatakan bahwa :
6. Pengambilan Barang dilakukan oleh NASABAH atau kuasa NASABAH bersamaan dengan pelunasan pinjaman. Apabila NASABAH tidak mengambil Barang yang dijaminkan bersamaan dengan pelunasan pijaman, maka batas waktu pengambilan Barang adalah sampai dengan 16 (enam belas) hari kalender setelah tanggal pelunasan. Lewat dari batas waktu tersebut NASABAH dengan ini setuju bahwa Barang tersebut akan disalurkan sebagai sedekah (Shodaqoh) yang pelaksanaannya diserahkan dan dikuasakan kepada BANK dan atas hal tersebut PARA PIHAK sepakat untuk mengesampingkan pasal 1126 s/d pasal 1130 KUHPer.
Akad gadai nomor 7 Sertifikat Gadai Syariah Bank BRI syariah menyatakan bahwa :
7. Apabila terdapat kelebihan hasil penjualan atau lelang Barang, maka NASABAH berhak menerima kelebihan tersebut dan jika dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun sejak dilakukan penjualan atau lelang Barang, NASABAH tidak mengambil kelebihan tersebut maka NASABAH menyetujui dan memberikan kuasa kepada BANK untuk menyalurkan kelebihan tersebut sebagai sedekah (shodaqoh) yang pelaksanaannya diserahkan kepada BANK.
Kedua akad tersebut diatas dimaksudkan untuk melindungi bank syariah dari resiko atas penyimpanan emas gadai yang telah dilunasi ataupun kelebihan hasil pelelangan emas, sehingga nasabah tidak menjadikan bank syariah sebagai tempat penyimpanan atau penitipan hartanya secara aman dan gratis. Pada dasarnya adanya pembatasan waktu ini wajar dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang menjadi persoalan adanya klausul yang menyatakan bahwa harta nasabah akan langsung dapat disalurkan oleh bank sebagai sedekah setelah batas waktu tersebut terlampaui. Hal ini berarti bank secara sepihak meminta nasabah mengalihkan hak miliknya kepada bank dengan persyaratan waktu tertentu, padahal hukum gadai dalam Syariah Islam tidak memperbolehkan pengalihan hak milik nasabah selaku pemberi gadai kepada bank syariah selaku penerima gadai. Kedua klausul yang mengalihkan hak milik nasabah kepada bank ini memenuhi kriteria “Dzalim” sebagaimana yang dimaksud dalam prinsip-prinsip syariah. Kedua klausul ini juga bertentangan dengan Pasal 18 huruf (f) ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku apabila memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
Dengan demikian klausul penyaluran emas gadai sebagaimana dinyatakan dalam akad ijarah nomor 6 dan penyaluran kelebihan hasil pelelangan emas gadai sebagai sedekah oleh bank syariah sebagaimana dinyatakan dalam akad gadai nomor 7 adalah bertentangan dengan Pasal 18 huruf (f) ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen juncto Pasal 2 UU Perbankan Syariah juncto Pasal 2 ayat 2 PBI Pelaksanaan Prinsip Syariah dan menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya, ini memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum. Pengalihan hak milik secara sepihak juga bertentangan dengan prinsip kepatutan dalam masyarakat yang mana menguatkan terjadinya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perbankan syariah, dimana seharusnya bank syariah menghormati hak milik nasabahnya (kepentingan orang lain), tidak dengan secara sepihak menentukan apa yang dapat dilakukan atas hak milik nasabah tersebut walaupun hal itu cukup merepotkan bank syariah.
Pengenyampingan pasal 1126 s/d pasal 1130 KUHPer pada dasarnya tidak bertentangan dengan perundang-undangan, namun perlu diperhatikan bahwa hal yang diatur dalam pasal-pasal tersebut adalah mengenai harta waris yang tidak dituntut oleh ahli waris sehingga menjadi harta yang tidak terurus yang dialihkan pengurusannya kepada Balai Harta Peninggalan dan setelah tiga tahun menjadi milik negara sebagai pihak yang berwenang. Yang menjadi pertanyaan ketika perjanjian gadai emas syariah mengenyampingkan pasal 1126 s/d pasal 1130 KUHPer, bagaimana dengan emas gadai yang tidak diambil padahal telah dilunasi, lalu pemiliknya (pemberi gadai) ternyata meninggal dan emas tersebut menjadi harta warisan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 396 PERMA Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, namun ahli waris tidak mengetahui sehingga tidak menuntut haknya. Disatu sisi sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya bahwa jika bank syariah langsung menyalurkan sebagai sedekah maka hal tersebut bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam hal ini menurut penulis, bank syariah perlu mempunyai mekanisme pemberitahuan kepada nasabah terkait dengan barang gadai yang telah dilunasi namun belum diambil, karena identitas dan tempat tinggal nasabah telah diketahui pada saat akad dibuat.
5. Bentuk perjanjian yang baku dan tulisan yang kecil-kecil
Secara definisi, menurut Rosalinda, klausula baku adalah aturan/ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Artinya produsen atau pemberi jasa telah menyiapkan perjanjian standar dengan ketentuan umum dan konsumen yang akan menggunakan jasa/membeli barang dari pelaku usaha tersebut hanya bisa menyetujui isi perjanjian. Selain dibuat secara sepihak, Perjanjian Baku biasanya berisi ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen. Klasula baku yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perjanjian gadai emas di Bank BRI Syariah ini dibuat berbentuk sertifikat yang disatukan dengan akad dalam satu lembar kertas dengan ukuran setengah folio. Isi perjanjian semuanya dibuat dalam bentuk baku dengan tulisan yang kecil-kecil bahkan menurut penulis sulit dibaca secara kasat mata sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen. Oleh sebab itu sertifikat gadai emas syariah di Bank BRI Syariah ini menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya, ini memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum.
Ad. 2. Praktek Gadai Investasi Kebun Emas
Praktek gadai investasi kebun emas adalah bentuk investasi yang memanfaatkan sistem gadai emas syariah. Secara garis besar cara investasi kebun emas adalah dengan menyediakan sejumlah uang untuk membeli sejumlah emas, lalu emas tersebut digadaikan selama jangka waktu tertentu, uang hasil gadai ditambahkan lagi untuk membeli emas dengan berat yang sama seperti pembelian pertama, kemudian digadaikan lagi, begitu seterusnya sampai beberapa kali sepanjang dipandang telah cukup. Semua emas tersebut dibiarkan dalam gadai sambil menunggu hingga harganya naik, ketika harga emas naik dan jika dihitung penjualan semua emas tersebut dapat memperoleh keuntungan setelah dipotong biaya gadai, maka semua emas tersebut dijual.
Semua bentuk perjanjian gadai dalam investasi kebun emas menggunakan perjanjian gadai emas di Bank Syariah. Hanya saja disini nasabah (pemberi gadai) mengakali sistem gadai syariah yang ada. Investasi kebun emas ini tidak sepenuhnya aman, namun demikian resiko sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah, bank tetap berdasarkan perjanjian gadai emas syariah yang ada. Disini perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perbankan syariah tidak berbeda sebagaimana pada perjanjian gadai emas syariah umum yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu karena adanya klausul dalam sertifikat gadai emas syariah yang menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya.
Ad. 3. Praktek Beli Gadai Emas
Semakin maraknya praktek gadai investasi kebun emas, pada akhirnya menimbulkan penyimpangan yang justru dilakukan oleh bank syariah, dengan cara mengembangkan dan memodifikasi sistem investasi kebun emas. Prakteknya adalah bank memberi kesempatan kepada nasabah yang tidak mempunyai emas untuk membeli sejumlah emas dengan harga minimal 10% dari harga emas yang kan dibeli. Harga ini diperoleh dari rekanan toko emas yang dapat menyediakan emas di tempat bank sebelum dibayar penuh berdasarkan prinsip kepercayaan. Jika harga emas telah disepakati, maka rekanan membawa emas ke tempat bank, nilainya ditaksir oleh bank dan disiapkan dana yang menjadi hutang pinjaman gadai, dana ini ditambah dengan dana nasabah adalah total harga emas yang harus dibayar ke rekanan toko emas. Emas yang dibeli ini akan disimpan di bank syariah dengan perjanjian gadai seakan-akan semua emas tersebut milik nasabah, sambil menunggu harga emas naik, jika kenaikan harga emas telah mencukupi untuk menutupi biaya penitipan dan keuntungan yang diinginkan, maka semua emas gadai tersebut dijual. Penjualannya dapat dilakukan oleh nasabah sendiri, tentu saja pembeli harus didatangkan nasabah ke bank syariah atau dijual kembali kepada rekanan toko emas bank syariah.
Praktek beli gadai emas ini berbeda dengan investasi kebun emas. Dalam investasi kebun emas bank syariah hanya menyediakan layanan gadai emas syariah, nasabah yang mengakali sistem gadai emas syariah. Dalam beli gadai emas, bank syariah turut campur mengakali sistem gadai syariah dengan menyediakan rekanan toko emas sebagai pihak ketiga. Keuntungan bagi bank syariah adalah nasabah yang spekulatif berani menghutang dalam jumlah yang besar karena tergiur keuntungan dari selisih kenaikan harga emas, jika emas yang digadai oleh nasabah semakin besar, maka hutang semakin besar, biaya sewa tempat yang diperoleh bank syariah juga semakin besar.
Praktek beli gadai emas inilah bentuk penyimpangan dari hukum gadai syariah. Adapun penyimpangan hukum gadai yang dilakukan oleh bank syariah dalam praktek beli gadai emas adalah sebagai berikut :
1. Emas yang digadaikan bukan sepenuhnya milik nasabah (pemberi gadai). Ini berbeda dengan syarat rahn sebagaimana yang dinyatakan Abd. Shomad bahwa barang gadai itu sah milik rahin dan berkuasa atas barang tersebut. Memang secara tersurat tidak dinyatakan dengan jelas dalam perundang-undangan bahwa emas gadai harus milik sah pemberi gadai, namun yang diatur dengan jelas adalah bahwa barang gadai harus ada ketika akad gadai akan dibuat yang mana hal ini menunjukkan bahwa harta gadai haruslah merupakan milik sah pemberi gadai sebagai subjek yang menguasai barang tersebut (bezit).
2. Akad yang digunakan adalah akad gadai syariah sedangkan praktek yang terjadi bukan lagi gadai syariah. Baik bank syariah dan nasabah hanya memanfaatkan sistem gadai syariah dimana nasabah berharap keuntungan dengan menghutang berdasarkan beli gadai emas, bukan untuk menghutang dengan memberi jaminan emas, sedangkan bank syariah memperoleh keuntungan berdasarkan biaya sewa tempat yang dihitung berdasarkan besarnya hutang pinjaman..
3. Ada pihak ketiga yang hadir antara bank syariah dengan nasabah yaitu rekanan toko emas. Rekanan toko emas hanya terikat perjanjian lisan dengan bank syariah, tidak ada perjanjian dengan nasabah, demikian juga nasabah hanya terikat perjanjian dengan bank syariah saja. Padahal praktek beli gadai emas ini melibatkan ketiga pihak sekaligus, tanpa adanya salah satu pihak tidak akan terjadi praktek ini. Perjanjian gadai syariah adalah perjanjian yang lahir karena undang-undang, bukan karena kesepakatan, sehingga harus dibuat secara tertulis, dengan demikian siapapun yang terlibat dalam perjanjian harus dinyatakan dengan jelas.
4. Harga emas dipasaran fluktuatif sehingga praktek beli gadai emas ini sifatnya menjadi spekulatif. Jika harga emas ternyata turun setelah digadaikan, ataupun harga emas tetap, ataupun harga emas naik tetapi keuntungannya tidak bisa menutupi hutang pinjaman ditambah biaya penyimpanan ketika akan dijual, maka yang akan mengalami kerugian adalah nasabah. Kerugian nasabah ini bisa menjadi bumerang bagi bank syariah, bagaimana mungkin pihak bank syariah menyediakan suatu layanan usaha syariah yang ternyata merugikan nasabahnya.
Praktek beli gadai emas syariah ini sangat bertentangan dengan asas itikad baik dalam perjanjian yang terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik, walaupun pasal tersebut tidak menyebutkan secara ekplisit apa yang dimaksud dengan “itikad baik”. Pengertian itikad terbagi dalam dua pengertian yaitu dalam arti subyektif dan dalam arti obyektif.
Pengertian itikad baik secara subyektif dapat dilihat pendapat Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik (te goeder trouw) diterjemahkan sebagai kejujuran. Itikad baik dalam arti obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus berdasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan patut dalam masyarakat. Pengertian inilah yang merupakan pengertian itikad baik yang disebutkan dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa itikad baik mempunyai makna yang sama dengan kepatutan dalam masyarakat.
Praktek yang menyimpang dalam perjanjian beli gadai emas syariah ini menunjukkan bahwa pihak bank syariah tidak beritikad baik ketika akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian dengan nasabahnya, karena pada prinsipnya bank syariah memberikan harapan keuntungan yang spekulatif dan tidak pasti dengan membebankan resiko menjadi tanggung jawab nasabah saja padahal kenyataannya bank syariah memainkan peranan utama dalam praktek ini. Dengan demikian praktek beli gadai emas menempatkan bank syariah telah melakukan perbuatan melawan hukum karena itikad tidak baik dalam praktek tersebut bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Praktek-praktek perjanjian gadai emas yang berlangsung saat ini di bank syariah adalah :
a. Praktek gadai emas syariah yang umum,
Perjanjian gadai emas syariah yang digunakan dalam praktek ini memuat beberapa akad/klausul yang menempatkan bank syariah sebagai badan hukum telah melakukan perbuatan melawan hukum.
b. Praktek investasi kebun emas
Praktek gadai investasi kebun emas adalah bentuk investasi yang dilakukan oleh nasabah dengan memanfaatkan sistem gadai emas syariah. Perjanjian gadai emas syariah yang digunakan dalam praktek ini menggunakan perjanjian standar sebagaimana praktek gadai emas syariah yang umum dimana masih memuat akad/klausul yang yang menempatkan bank syariah sebagai badan hukum telah melakukan perbuatan melawan hukum.
c. Praktek beli gadai emas syariah
Praktek beli gadai emas syariah inilah bentuk penyimpangan dari hukum gadai syariah, sehingga perjanjian yang terjadi antara nasabah dan bank syariah secara hukum tidak sah dan batal demi hukum. Bank syariah melakukan praktek yang berbeda dan menyimpang dengan perjanjian yang dibuat. Ini menunjukkan tidak adanya itikad baik yang bertentangan dengan prinsip kepatutan dalam masyarakat sehingga menempatkan bank syariah sebagai badan hukum telah melakukan perbuatan melawan hukum.
2. Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan perbankan syariah sebagai badan hukum dalam praktek gadai emas syariah menunjukkan lemahnya sumber daya manusia di bidang hukum yang ada di perbankan syariah, termasuk Dewan Pengawas Syariah. Perjanjian yang dibuat oleh perbankan syariah tidak semestinya menempatkan perbankan syariah ke dalam posisi yang bertentangan dengan hukum.
3. Sistem pengawasan di perbankan syariah masih lemah, karena hampir semua bank syariah melakukan praktek yang sama dengan perjanjian yang hampir sama. Inilah tugas utama Dewan Pengawas Syariah, fungsi pengawasan harus melekat seiring dengan praktek-praktek kegiatan usaha yang dilakukan oleh perbankan syariah, perlu diteliti lebih lanjut apakah terjadi penyimpangan antara praktek dengan ketentuan yang dibuat.
4. Dari hasil penelitian ini terindikasi akad/perjanjian lain yang dibuat oleh perbankan syariah kemungkinan besar juga masih mengandung klausul-klausul yang bertentangan dengan hukum.
Rekomendasi
Adapun rekomendasi untuk menjadi layanan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pembuatan akad/perjanjian di dalam layanan gadai emas yang dilakukan oleh bank syariah seharusnya berdasarkan rukun dan syarat hukum gadai emas serta berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian bank syariah tidak bisa membuat perjanjian-perjanjian yang dianggap syariah padahal masih mengandung klausula yang menyimpang dari Syariah Islam dan hukum positif.
2. Perbankan syariah perlu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya dibekali dengan kemampuan ilmu ekonomi syariah, namun juga berlatar belakang ilmu hukum karena kegiatan operasional perbankan syariah tidak hanya bersumber pada Syariah Islam, tetapi terikat juga dengan ketentuan perundang-undangan dalam tata hukum nasional Indonesia.
3. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah internal maupun Dewan Syariah Nasional MUI harus lebih ditegakkan, lemahnya fungsi pengawasan ini dapat membawa perbankan syariah melakukan penyimpangan-penyimpangan yang merusak tatanan sistem yang dibangun sehingga pada akhirnya bisa jadi praktek yang terjadi di perbankan syariah tidak jauh berbeda dengan sistem perbankan konvensional.
Semoga Bermanfaat, Salam SHABers